ULASINDONESIA.COM.,SULAWESI TENGGARA-Menjadi salahsatu politisi senior dalam ber DPRD di Provinsi Sulawesi Tenggara, anggota fraksi PDI-Perjuangan, Sulaeha Sanusi tuai sorotan dan kritik pedas dari sebagian besar masyarakat Sulawesi Tenggara, terlebih koleganya sesama anggota legislatif Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pasalnya, politisi wanita yang berasal dari daerah pemilihan enam ini diyakini telah melakukan pelanggaran kode etik serta penyalahgunaan jabatan sebagai Ketua Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, yakni berupa surat yang ditandatangani serta ditujukan ke PT Tambang Matarampe Sejahtera (TMS) dinilai tidak prosedural serta menyalahi aturan atau regulasi yang telah di tetapkan.
Olehnya itu, politisi PDI-Perjuangan Sulawesi Tenggara yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi III DPRD Sultra ini menghadapi desakan dari berbagai pihak untuk diproses oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD Sultra, karena kuat dugaan terbitnya surat tersebut untuk kepentingan pribadi.

Ketgam: Hj Sulaeha Sanusi, Ketua Komisi III sekaligus Ketua fraksi PDI-Perjuangan di DPRD Sulawesi Tenggara
Selain itu, desakan agar Badan Kehormatan DPRD Sultra segera menindak lanjuti polemik Ketua Komisi III juga berdasarkan regulasi dan perundang-undangan yang berlaku seperti, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini mengatur tentang kewenangan dan kewajiban Kepala Daerah dan DPRD. Di dalamnya juga terdapat ketentuan yang mengatur sanksi bagi anggota DPRD yang melanggar sumpah atau janji, tidak melaksanakan kewajiban, dan atau melanggar larangan yang ditetapkan, seperti yang terdapat di Pasal 143.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Undang-Undang MD3 adalah landasan hukum utama yang mengatur tentang tugas, wewenang, dan fungsi lembaga legislatif, termasuk DPRD. Pasalnya, Undang-Undang ini mengatur secara spesifik mengenai kode etik setiap anggota DPRD yang wajib menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas lembaga serta larangan-larangan bagi anggota DPRD, seperti menggunakan jabatan untuk mencari keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.
Didalam Undang-Undang MD3 ini juga memberikan kewenangan kepada Badan Kehormatan untuk menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota dewan. Badan Kehormatan berhak menyelidiki, memanggil, dan memberikan sanksi kepada setiap anggota dewan, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemindahan dari alat kelengkapan, hingga pemberhentian sebagai anggota dewan.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tata tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Peraturan Pemerintah ini merupakan pedoman bagi DPRD di setiap daerah untuk menyusun tata tertib dan kode etik mereka. Peraturan Pemerintah ini menegaskan bahwa setiap DPRD wajib memiliki kode etik dan tata tertib yang mengatur kewajiban setiap aggota DPRD untuk mematuhi peraturan perundang-undangan dan tata tertib dewan serta larangan menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah atau janji jabatan.
Peraturan Pemerintah ini juga yang menjadi dasar bagi DPRD untuk merumuskan jenis-jenis pelanggaran (ringan, sedang, berat) dan sanksi yang sesuai. Olehnya itu, dalam penyusunan peraturan internal di DPRD Provinsi tentang tata tertib dan kode etik, termasuk DPRD Sultra, merujuk pada regulasi yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang MD3 dan PP Nomor 12 tahun 2018.
Penyalahgunaan jabatan oleh setiap anggota DPRD dapat dijerat melalui kombinasi peraturan perundang-undangan tersebut. Pelanggaran berat dapat berujung pada pemberhentian dari jabatan, terutama jika pelanggaran tersebut melanggar kode etik, sumpah jabatan, atau bahkan termasuk dalam tindak pidana seperti korupsi.(***)
Penulis: BP. Simon
REDAKSI

















