ULASINDONESIA.COM., MUNA, SULAWESI TENGGARA–Sebuah skandal penyerobotan lahan negara yang melibatkan oknum pejabat di Kelurahan Tampo, Kecamatan Napabalano Kabupaten Muna, telah mengguncang masyarakat setempat. Dugaan penyalahgunaan wewenang ini memicu beragam pertanyaan serta tuntutan keadilan dari warga masyarakat.
Oleh media ini, informasi yang dihimpun dari berbagai sumber mengatakan, bahwa oknum pejabat yang belum disebutkan namanya ini diduga telah memanfaatkan posisinya untuk mengklaim kepemilikan atas beberapa lahan negara yang strategis di wilayah Napabalano. Lahan yang masuk dalam kawasan hutan kini diduga telah dialihfungsikan menjadi area komersial untuk kepentingan bisnis pribadi.
Tindakan ini menuai kecaman keras dari masyarakat Napabalano. Mereka menilai bahwa oknum pejabat tersebut telah mengkhianati kepercayaan publik dan mencederai prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
“Kami hanya bisa berharap agar Pemerintah Daerah segera turun tangan dan menindak tegas pelaku penyerobotan lahan. Kami juga tidak akan tinggal diam. Lahan ini adalah milik negara, milik rakyat. Tidak boleh ada oknum yang seenaknya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi,” ujar salah seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Tokoh masyarakat ini juga menilai, persoalan penyerobotan lahan oleh oknum Kelurahan Tampo ini berpotensi merusak citra Pemerintah Daerah dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Selain itu, kasus ini juga dapat memicu konflik sosial dan ketegangan antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah.
” Kami berharap, sebelum kami turun ke jalan, agar kasus penyerobotan lahan di Kecamatan Napabalano ini dapat diselesaikan secara transparan sehingga dapat memberikan efek jerah bagi para pelaku, terlebih untuk oknum pejabat tersebut,” katanya.
Adapun perambahan hutan oleh pejabat untuk kepentingan pribadi telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang ini memberikan dasar hukum terkait pengelolaan dan perlindungan hutan. Sanksi pidana dan administratif yang besar diharapkan memberikan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan.
Tak hanya itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021. Peraturan Pemerintah (PP) ini mengatur mengenai perencanaan kehutanan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan, pengelolaan perhutanan sosial, perlindungan hutan, pengawasan, dan sanksi administratif.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 8 Tahun 2021 Permen ini mengatur tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi
Sementara itu, sanksi bagi pejabat yang diduga terlibat dalam perambahan kawasan hutan negara meliputi sanksi Administratif teguran tertulis, denda administratif, pembekuan izin, hingga pencabutan izin. Tata cara pengenaan sanksi administratif ini diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021 .
Selain sanksi administratif, pejabat yang terbukti melakukan perambahan hutan juga dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sanksi pidana ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku perambahan hutan .
Selain itu, jika perambahan hutan tersebut melibatkan tindakan korupsi atau penyalahgunaan wewenang, pejabat yang bersangkutan juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk diketahui, tim redaksi media ini telah berupaya untuk melakukan klarifikasi terhadap oknum pejabat di Kelurahan Tampo, baik melalui telepon selulernya, pesan singkat Whatsapp, berkunjung kerumahnya di Desa Langkumapo ataupun di kantor Kelurahan Tampo, namun tidak berhasil. (***)
Penulis: BP. Simon
REDAKSI