crossorigin="anonymous">

Menu

Mode Gelap
HUT ke-192, Subhan Beri Predikat Kota Kendari Sebagai Kota Idaman Dengan Wajah Baru Berkurang dari Tahun Sebelumnya, Penerima KIP Kuliah UHO Kendari Tersisa 924 Mahasiswa DPRD Kota Gelar Paripurna Istimewa HUT Kota Kendari ke 192 Tahun Bertekad Sejahterakan Masyarakat Sultra, Amnaeni Dg Tabaji Ajukan Diri Sebagai Bakal Caleg Pawai Budaya Warnai Peringatan HUT ke-59 Provinsi Sultra

Opini · 2 Feb 2023 13:31 WITA ·

Kearifan Lokal Buton untuk Menghadapi Destruktif Dunia Digital


 Nurzil Amri Perbesar

Nurzil Amri

ULASINDONESIA.COM., NUSANTARA- Akhir-akhir ini kita kerap kali mendengar kasus-kasus yang membuat kita mengelus dada. Satu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kota Sorong dibakar hidup-hidup lantaran beredar informasi hoax yang menjelaskan bahwa korban merupakan pelaku penculikan anak-anak.

Di Kota Makassar, anak berumur belasan tahun tega membunuh anak dibawah umurnya dengan motif ingin menjual organ tubuh korban. Terbaru, seorang anak muda dalam keadaan mabuk di Kota Kendari memperkosa saudari kandungnya sendiri.

Yang sudah lama tetapi masih hangat dan sulit dilerai sampai sekarang adalah lontaran caci maki, ujaran kebencian akibat ekses politik identitas yang tak berkesudahan.

Fragmen-fragmen di atas hanyalah sedikit dari rentetan kasus-kasus yang menunjukkan perilaku amoral yang kerap kali tersaji di hamparan dunia digital. Artinya, meski tidak semua, ada yang tidak beres dengan mental berikut cara pandang masyarakat kita dewasa ini dalam merespon dunia digital.

Harus diakui bahwa teknologi punya dampak positif bagi hajat hidup manusia, tetapi juga sekaligus berdampak negatif terhadap kearifan lokal yang punya nilai-nilai luhur. Untuk itu, perlunya menggali kembali kearifan budaya lokal sebagai pedoman hidup dewasa ini.

Kalau tidak demikian, meminjam istilah Kalervo Oberg, kita pada akhirnya akan mengalami kegagapan budaya (culture shock). Dampaknya adalah generasi mendatang kehilangan identitas diri akibat menyerap dan “mengimani” apa yang berasal dari luar. Padahal, ada banyak ajaran luhur hasil kontemplasi leluhur kita.

Di Buton, ada yang disebut sebagai bhinci bhinciki kuli atau dalam istilah lainnya ialah sara pataanguna (adat yang empat). Bhinci bhinciki kuli memuat empat nilai yang bisa dijadikan pegangan kuat di tengah arus teknologi yang destruktif. Pertama, poangka-angkataka yang artinya saling menghargai antara satu sama lain.

Dengan memperlakukan orang lain secara terhormat, maka timbal baliknya pun demikian. Perasaan hormat nantinya akan melahirkan cara pandang egaliter, semua orang dipandang sederajat. Dalam pandangan secara luas, egalitarianisme adalah entitas penting dalam hidup berbangsa dan bernegara. Manusia dipandang bukan atas dasar latar belakang suku, agama, jabatan, ataupun ras.

Di samping itu, demokrasi juga mensyaratkan egalitarianisme sebagai entitas penting. Memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk berekspresi sejauh hak-hak individual orang lain dijaga dan dihormati. Itu adalah prinsip ajaran pomae-maeka. Bila diterapkan dalam pergaulan jagat maya, prinsip ini menganjurkan agar bijak berkomentar dan positif ketika menanggapi ekspresi warganet.

Prinsip yang kedua, yakni poma-maasiaka atau saling menyayangi atau mengayomi. Prinsip ini menganjurkan supaya sesama manusia dalam pergaulan keseharian selalu saling menyayangi dan mengayomi. Untuk menunjukkan sikap rasa sayang terhadap orang lain yaitu dinasehati tanpa merendahkan kehormatannya jika ia berbuat salah. Sebab, sejatinya, membiarkan orang lain berbuat salah sama artinya dengan dholim pada diri sendiri.

Prinsip poma-maasiaka menekankan pada sikap saling mengingatkan satu sama lain agar tak berbuat nista, menjaga hubungan baik yang harmonis. Jika demikian, hubungan antar individu jauh lebih intim, terbuka, mengakui kesalahan, dan berani memperbaikinya merupakan sikap sejati. Pun sebaliknya, hipokrit jika membiarkan teman atau orang dekat kita berbuat salah.

Prinsip berikutnya popia-piara, saling berempati. Penekanan ajaran ini menyentuh ruang emosional seseorang agar saling bantu manakala ada orang yang membutuhkan pertolongan. Tuntutan agar punya kepekaan sosial merupakan pesan dalam prinsip popia-piara.

Sebab, manusia sebagai makhluk sosial bisa hidup kuat oleh karena hubungan sosial yang erat dan saling peduli. Para ilmuwan sosial menguatkan ajaran popia-piara, bahwa sebagai makhluk sosial, manusia akan mengalami kesulitan hidup tanpa manusia lain.

Setelah saling menghargai, saling menyayangi dan berempati atau peduli pada sesama, ajaran selanjutnya dalam sara pataanguna yaitu pomaemaeaka, saling menjaga marwah atau kehormatan diri.

Ajaran yang terakhir ini menganjurkan kepada siapapun untuk saling meninggikan martabat kemanusiaan tanpa pandang bulu. Bukan malah sebaliknya, mencaci dan merendahkan orang lain hanya karena perbedaan.

Itulah nilai luhur hasil cipta rasa para leluhur di tanah Buton. Meski lahir dari Buton, tetapi ajarannya bersifat universal sehingga penting diteladani oleh semua kalangan agar bijak menggunakan teknologi.

Penulis: Nurzil Amri

Artikel ini telah dibaca 38 kali

Baca Lainnya

KPHku Sayang, Hutanku Gersang

16 Juli 2023 - 10:05 WITA

Menimbang Prabowo-Muhaimin untuk Bangsa Indonesia

18 Juni 2023 - 18:56 WITA

Polarisasi Masyarakat Menjelang Pilpres

20 Februari 2023 - 11:14 WITA

Demokrasi dan Edukasi Sama Dengan PEMILU Tanpa Luka

30 Januari 2023 - 03:48 WITA

Eksploitasi Anak, Demi Eksistensi atau Edukasi ?

11 Januari 2023 - 05:15 WITA

PPKM Dicabut, Pandemi Masih Melekat. Demi Ekonomi ?

7 Januari 2023 - 02:32 WITA

Trending di Daerah